Hello Smadda....
Oleh : DARMAN MOENIR—
-
SERTA merta Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2011, Jakarta, melalui beberapa kepala sekolah, guru, pengurus komite sekolah, anggota dewan pendidikan, pengawas pendidikan, tokoh masyarakat, menyelenggarakan penelitian di SMA 1 Kota Padang, Rabu, 21 Desember. Semua informan 25 orang.
–
Peneliti memapar, program berinti risalah karakter, pendidikan berkarakter, pendidikan karakter, untuk anak-anak (murid, pelajar, dan siswa) Indonesia. Ternyata, kini, soal karakter (anak-anak) ini menjadi keputusan pemerintah untuk dibenahi.
-
Dengan menyalah-nyalahkan Barat, mereka kembali menyebut local wisdom, kearifan lokal, dan nilai-nilai karakter khas setiap etnik yang tergerus. Ada silih asih, silih asah, silih asuh di Sunda, ada waja sampai kaputing di Kalimantan Selatan, dan ada lamak dek awak katuju dek urang di Minangkabau. Semua dianggap tak mangkus.
Dengan menyalah-nyalahkan Barat, mereka kembali menyebut local wisdom, kearifan lokal, dan nilai-nilai karakter khas setiap etnik yang tergerus. Ada silih asih, silih asah, silih asuh di Sunda, ada waja sampai kaputing di Kalimantan Selatan, dan ada lamak dek awak katuju dek urang di Minangkabau. Semua dianggap tak mangkus.
-
Dalam satu-dua dekade terakhir, sebagian anak-anak Indonesia dikatakan tak lagi punya karakter? Dengan sebagian anak-anak tak berkarakter itu lalu terjadi perkelahian antarpelajar, antarsekolah, di pelbagai tempat di tanah air. Tersualah murid-murid yang tidak menghormati guru, tidak berperilaku santun terhadap orang-tua, tidak mau menjalankan peraturan sekolah.
-
Dalam diskusi saya kemukakan, sungguh-sungguh, saya sama sekali tak mengerti makna karakter. Saya mengikuti pemikiran tentang karakter ini di media cetak, daring (on line), dan membaca beberapa buku. Saya membuka kamus, ensiklopedi, thesaurus, berdiskusi dengan pakar. Saya tetap tidak paham makna kata karakter yang kemudian ditali-temalikan dengan pendidikan: pendidikan berkarakter, pendidikan karakter.
-
Tidak pernah jelas makna karakter sebagai watak, akhlak, tabiat, budi pekerti atau kepribadian. Tidak pula jelas perbedaan makna pendidikan berkarakter, dan pendidikan karakter. Ketakjelasan itu lebih kurang sama dengan makna Pendidikan Moral Pancasila, Civics, Kewarganegaraan, atau P4 di masa silam. Tidak ada upaya penyederhanaan makna biarpun tentu tidak bijak bila masalah disederhanakan.
Tidak pernah jelas makna karakter sebagai watak, akhlak, tabiat, budi pekerti atau kepribadian. Tidak pula jelas perbedaan makna pendidikan berkarakter, dan pendidikan karakter. Ketakjelasan itu lebih kurang sama dengan makna Pendidikan Moral Pancasila, Civics, Kewarganegaraan, atau P4 di masa silam. Tidak ada upaya penyederhanaan makna biarpun tentu tidak bijak bila masalah disederhanakan.
-
Ada kejumudan pemangku pendidikan (pejabat pemerintah di level atas) menyiasati dinamika anak-anak sehingga mereka merasa perlu merumuskan karakter itu untuk, dengan slogan besar, kepentingan bangsa. Dengan demikian, sebentar lagi, bisa saja ada mata ajaran baru Pendidikan Karakter atau apapun namanya. Secara bersamaan dan pasti, setelah itu terbuka dan diselenggarakan pelatihan-pelatihan tentang Pendidikan Karakter itu. Dan dua Sekolah Menengah Atas di Kota Padang dijadikan pilot project (mengapa harus berbahasa Inggris?) untuk urusan karakter ini.
-
Pada hemat saya persoalan terletak bukan di sana, bukan pada karakter itu. Sebagian besar andai bukan semua mata ajaran bukankah mengemban watak atau nilai atau kepribadian? Dulu ada mata ajaran Budi Pekerti. Dari dulu sampai sekarang ada mata ajaran Agama. Kini ada mata ajaran bermuatan lokal, sebutlah, untuk Sumatera Barat, dengan nama Budaya Alam Minangkabau. Mungkin saja ada mata ajaran Budaya Bugis, Budaya Bali, Budaya Mandar, Budaya Batak, Budaya Papua. Semua berupa pendidikan formal. Itu berarti belum dimasukkan pendidikan tidak resmi yang juga berlangsung di masing-masing etnik.
-
Juga tak kalah penting adalah mengurangi kalau belum menghabiskan kelakuan sebagian elit politik yang tiap saat memberikan contoh-teladan yang tak baik untuk anak-anak Indonesia. Persis, persoalan terletak di sini. Mungkinkah tidak ada lagi Gayus yang lain, Nazaruddin yang lain, Nunun yang lain di Indonesia? Mengapa di Sumatera Barat terjadi Ketua MUI menjadi terpidana? Mengapa ada anggota dan sekretaris DPRD gugat-menggugat dan salah-menyalahkan di meja hijau? Dan, ternyata, tidakkah beberapa kasus itu diserap dan, setidaknya “dipelajari” langsung oleh anak-anak di bumi perasada, di tanah air mereka sendiri, bukan dari Barat!
-
Bukankah sesungguhnya di semua rangkuman mata ajaran terdapat pendidikan karakter? Seorang guru yang memulai mata ajaran dengan basmalah, seorang murid yang menampakkan sikap hormat kepada guru (tidak usah cium tangan), seorang kepala sekolah yang secara kreatif mengujudkan sekolah yang dinamik dan produktif (seperti yang digagas Mohammad Sjafei), adalah beberapa hal yang terkait dengan karakter itu. Dan biarpun tidak semua, namun fenomena bahkan kenyataan demikian tersua, masih tersua, di sekolah-sekolah di nusantara. Bahwa masih ada keadaan bangunan sekolah yang sangat memrihatinkan, itu cerita lain.
-
Jadi, melalui peneliti, antara lain, sahabat saya, sastrawati dan jurnalis andal, Sirikit Syah, dari Surabaya, yang hadir di forum, saya berpesan, agar upaya menciptakan mata ajaran baru, atau upaya untuk “membuat” pendidikan yang berkarakter, pendidikan karakter, dan yang sejenis itu, dihentikan. Ini akan jadi pekerjaan mubazir. Semubazir pendidikan dan penataran P4 dulu. Mengapa tidak guru-guru profesional di bidang muatan lokal dibanyakkan, ditingkatkan kemampuan mereka? Mengapa uang yang dialokasikan untuk program ini tidak digunakan untuk membangun atau membaikkan gedung-gedung sekolah yang rusak?
-
Pada akhirnya saya menerima bocoran, ternyata program mendadak ini diadakan untuk menyesuaikan agenda (tahun anggaran). Biarpun peneliti mengaku tidak menerima honorarium (kecuali untuk biaya transportasi dan akomodasi), bukankah program ini menghamburkan uang negara? Berapa banyak peneliti dan peserta diskusi mendadak seperti ini di Indonesia pada akhir tahun? Berapa sesungguhnya uang negara difoya-foyakan? Ini baru dalam satu kementerian?
-
Sumber : Harian Haluan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini....