Rabu, 04 April 2012

Hubungan Guru Dengan Murid Dalam Rangka Manajemen Pendidikan

Hello Smadda...

Sebagai seorang guru, kita dituntut untuk mengetahui dan menguasai segala persoalan dalam system pendidikan dan pengajaran. Seperti tujuan pendidikan, prestasi belajar siswa, faktor yang berpengaruh dalam proses belajar mengajar serta iklim sekolah yang membentuk suasana pribadi para lulusan yang merupakan produk yang diharapkan seperti tercantum dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yang diharapkan. Dan pada pembahasan kali ini akan disampaikan lingkup yang lebih spesifik dari system pendidikan yang terjadi di sekolah, bahkan lebih spesifik lagi dari system pengajaran, yaitu hubungan antara guru dengan siswa.
A. Kerawanan Hubungan Guru Dan Siswa
Mengajar merupakan satu situasi yang dapat terjadi dimana saja, misalnya seorang ayah mengajar anak lelakinya bagaimana memperbaiki engsel pintu, seorang ibu mengajar anak gadisnya bagaimana mengatur menu keluarga, dan bahkan seseorang mengajari kawan dekatnya bagaimana melakukan suatu pekerjaan. Singkatnya, bahwa semua kegiatan yang berfungsi mentransfer pengetahuan atau keterampilan dari satu pihak kepada pihak lain, disebut mengajar . Dan orang yang mengajarkan sesuatu terhadap orang lain, maka dia dianggap sebagai seorang guru, walaupun yang dia ajarkan hanya satu huruf.


Dikatakan ‘satu pihak kepada pihak lain’, bukan ‘satu orang kepada orang lain’, karena secara sederhana kegiatan mengajar seperti itu juga dapat terjadi pada binatang. Jadi bukan hanya pada manusia!
Dengan alasan seperti itu, banyak orang menganggap mengajar merupakan bukan suatu kegiatan yang rumit, akan tetapi hal yang sangat sederhana. Karena binatang pun dapat melakukannya. Mengajar dapat dilakukan oleh siapa saja yang mau dan ingin melakukannya dan siapapun dapat berhasil dengan baik mengenai apa yang dilakukannya itu. Dengan demikian, maka sia-sialah pemikiran tentang bagaimana mengajar tersebut dapat berhasil dengan baik bahkan memikirkan tentang upaya itupun nampaknya tidak perlu lagi .
Apa yang diutarakan diatas hanya merupakan ilustrasi mengenai mengajar dalam pengertian yang sederhana. Kenyataannya memang tidak demikian. Perlu dibedakan antara ‘mengajar’ dan ‘mengajar yang efektif’. Pengertian yang kedua menyangkut kegiatan yang berhasil dengan baik karena memang diupayakan dengan sungguh-sungguh untuk peningkatan keberhasilannya. Dan secara umum, kedua jenis kegiatan ini semuanya berdampak positif. Kita memang tidak pernah berpikir bahwa mengajar tidak hanya berdampak positif, tetapi juga negatif. Dan secara gradatif kualitas mengajar dapat dibedakan atas beberapa tingkat sebagai berikut :
1. Mengajar Kualitas 1, merupakan kegiatan mengaar dengan kualifikasi yang paling tinggi, mempunyai efek positif dan menghasilkan penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap secara optimal, dapat mencapai hasil sepenuhnya sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam tujuan.
2. Mengajar Kualitas 2, merupakan kegiatan mengajar yang dapat dikatakan baik karena mempunyai efek positif berupa penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap secara menyeluruh tetapi tidak optimal.
3. Mengajar Kualitas 3, merupakan kegiatan mengajar yang mempunyai efek positif tetapi tidak menyeluruh, tidak dapat mencapai ketiga aspek tersebut dan biasanya hanya mencapai penguasaan pengetahuan saja.
4. Mengajar Kualitas 4, merupakan kegiatan mengajar seperti kualitas 3 yaitu pengetahuan dan mungkin juga keterampilan tetapi tidak tercapai sikap positif, dan bahkan sebaliknya siswa mendapat rugi karena ada sesuatu yang negative yang diperoleh dari peristiwa mengajar. Hal ini terjadi disebabkan beberapa faktor, diantaranya pribadi guru yang tidak baik ataupun iklim sekolah yang tidak mendukung. Jika demikian, maka siswa tidak akan mendapatkan hal yang positif, akan tetapi sebaliknya, dari sekolah siswa menjadi pemurung dan apabila keadaan seperti ini dibiarkan, perkembangan pribadi siswa tersebut dapat terganggu.
Dengan demikian, guru mempunyai peran yang sangat penting dalam kesuksesan pembelajaran siswa. Dan guru juga harus memiliki keterampilam khusus untuk berkomunikasi dengan siswanya, sebagaimana telah dikatakan Thomas Gordon dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1976, bahwa titik terpenting yang perlu diperhatikan dalam hubungan antara guru dengan siswa adalah dimilikinya oleh guru tersebut keterampilan istimewa untuk berkomunikasi.
Didalam kompetensi professional yang harus dimiliki oleh guru terdapat salah satu kompetensi yang disebut : kompetensi untuk melaksanakan interaksi belajar mengajar. Didalamnya terdapat satu unsure yang disebut : kemampuan berbicara dalam arti menyampaikan pengajaran kepada siswa .
Makna berbicara itu sendiri sebenarnya sudah sangat kita pahami, yaitu mengutarakan suara atau kata-kata yang dapat dipahami oleh lawan bicaranya. Sejak kecil kita sudah diajarkan untuk berbicara hingga sekarang ini. Tapi dalam hal hubungan antara guru dan murid, arti berbicara tidak sesederhana itu. Berbicara tidak hanya sekedar mengucapkan kalimat. Walaupun kalimat itu sudah mencakup kaidah berbicara yang baik dan benar. Baik dari pokok, predikat, dan keterangan sudah tertata dengan rapid an baik. Akan tetapi berbicara disini adalah pembicaraan yang mengandung makna pendidikan. Pembicaraan yang dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan pendidikan siswa. Maka dari itu, guru dituntut untuk menjaga serta melatih ‘cara berbicaranya’ agar berdampak positif terhadap siswa yang diajarnya. Karena semua yang dilakukan guru, baik dari perkataan maupun perbuatan, semuanya akan dilihat dan ditiru oleh siswanya. Inilah pentingnya keterampilan berbicara yang dimiliki oleh guru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘berbicara’ merupakan sesuatu yang rawan dalam hubungan guru dengan siswa .
Selain berbicara, ‘mendengarkan’ juga termasuk sesuatu yang rawan dalam peristiwa berlajar yang dialami oleh siswa. Dalam hal inipun orangtua dan guru (dalam kondisi fisik normal) sudah dibekali dengan suatu kemampuan untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Mereka telah melakukannya setiap hari. Mereka tidak perlu memikirkan apa yang mereka dengan, serta terjadilah suatu proses komunikasi (dianggap dan dirasakan) sudah selesai dengan yang diinginkan. Nampaknya komunikasi yang terjadi sudah cukup lancer dan semua pembicaraan timbal balik terasa terpahami oleh lawan bicara. Dengan kesimpulan demikian maka tidak menghrankan kalau disimpulkan bahwa (1) apa yang diaktakan sudah cukup jelas, (2) apa yang didengar sudah benar .
Dengan keyakinan bahwa setiap orang sudah berbicara baik dan jelas, serta bahwa setiap orang sudah mendengarkan dengan baik dan cermat, maka berlebih-lebihanlah kiranya apabila guru dikelas masih juga berkali-kali mengingatkan kepada siswa :”Dengarkan baik-baik!” hal seperti itu semestinya tidak perlu terjadi.
Kerawanan lain dalam hubungan guru dengan siswa adalah adanya kecenderungan dari pihak guru untuk menyamaratakan siswa. Walaupun masih kecil, siswa adalah seseorang yang memiliki keistimewaan tersendiri. Ketika kita bergaul dengan siswa, mungkin kita akan dihinggapi dugaan negative tentang siswa tersebut. Kadang-kadang kita berpikir bahwa mereka adalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa, jadi kita bisa berbuat apa saja kepada mereka tanpa memikirkan kemungkinan dia akan sakit hati oleh perkataan dan perlakuan kita. Para pendidik kadang-kadang lupa bahwa mereka juga mempunyai perasaan seperti orang dewasa. Mereka juga berbeda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, perlakuan terhadap mereka juga harus berbeda. Diantara mereka mempunyai latar belakang yang berbeda, sifat, kebiasaan, hoby dan lainnya.
Dengan singkat dapar\t dikatakan bahwa semua individu yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar adalah manusia. Guru adalah manusia. Siswa juga manusia. Sebagai halnya manusia lain, siswa akanmerasa jemu jika diberi hal yang sama terus menerus, akan mengendor semangatnya jika direndahkan, mempunyai keinginan untuk mandiri, untuk dihargai, ingin dihormati haknya sebagai pribadi, serta lain-lain sifat seperti manusia dewasa .
B. Model Hubungan Efektif Antara Guru Dengan Siswa
Seorang guru seyogyanya memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi siswanya. Untuk memahami permasalahan siswa, guru sebaiknya mengikuti delapan gambaran tentang guru seperti yang dikemukakan oleh Thomas Gordon sebagai berikut :
1. Guru yang baik adalah guru tenang (tetapi tidak “louo”), tidak pernah kehilangan ketenangannya, tidak pernah menunjukkan emosi yang menyala.
2. Guru yang baik tidak pernah mempunyai syak wasangka terhadap siswa, bertindak adil (tidak pernah membedakan siswa dari segi agama, suku, asal-usul dan sebagainya yang dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah).
3. Guru yang baik adalah yang dapat menyembunyikan perasanaannya dari pandangan siswa.
4. Guru yang baik adalah guru yang dapat memandang semua siswanya sama, seshingga tidak mempunyai siswa kesayangan.
5. Guru yang baik adalah guru yang mampu meciptakan lingkungan belajar yang menarik, bebas, member dorongan kepada siswanya untuk sadar dan mau belajar demi belajar.
6. Guru yang baik adalah guru yang konsisten, tidak pernah berubah-ubah pendirian, lupa, berperasaan tinggi atau rendah, atau sering berbuat kesalahan.
7. Guru yang baik adalah guru yang pandai, cekatan, mampu memberikan jawaban semua pihak sehingga pihak yang mengajukan pertanyaan menjadi puas, bijaksana dalam memperlakukan siswa.
8. Guru yang baik adalah guru yang sanggup memberikan bantuan secara maksimal kepada siswa sehingga siswa-siswi tersebut dapat berkembang secara optimal di sekolah.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa guru yang baik haruslah mempunyai kelebihan dalam segala hal: harus lebih baik, lebih memiliki pengalaman, lebih menguasai pengetahuan, lebih sempurna dibandingkan dengan orang lain. Kepada mereka yang ingin mendapat julukan guru yang baik harus sabar, membei banyak kebebasan pada siswa, jujur, konsisten, cermat, dan lain-lain.. Seperti yang pernah dikatakan oleh KH. Imam Zarkasyi :
”الإنسان محل الخطأ والنسيان إلا المدرس”
Manusia itu tempatnya salah dan lupa, kecuali guru.
Seorang guru dituntut untuk lebih baik dari segala hal. Dan jangan sampi kekurangannya Nampak didepan siswanya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa guru yang baik harus berbudi luhur!
Menurut Thomas Gordon, guru yang baik adalah guru yang manusia biasa, yakni guru yang mempunyai keunikan sendiri yang tidak sama dengan guru lain. Mereka ingin lebih dekat dengan siswanya yang merupakan manusia juga. Maka dapat dikatakan bahwa model hubungan yan baik anatara guru dan siswa adalah apabila guru dan siswa sama-sama pernah merasakan menang dan merasakan kalah .
Siswa akan dapat belajar dengan baik apabila dapat terjalin hubungan yang baik antara guru dengan siswa. Menurut Thomas Gordon, hubungan yang baik antara guru dengan siswa adalah hubungan yang :
1. Memiliki keterbukaan (openness or transparency) sehingga masing-masing pihak merasa bebas bertindak dan saling menjaga kejujuran.
2. Mengandung rasa saling menjaga, saling membutuhkan serta saling berguna bagi pihak lain.
3. Diwarnai oleh rasa saling tergantung satu sama lain.
4. Masing-masing pihak meraskaan terpisah satu sama lin sehingga saling memberikan kesempatan untuk mengembangkan keunikannya, kreativitasnya dan individualisasinya.
5. Dirasakan oleh masing-masing pihak sebagai tempat bertemunya kebutuhan-kebutuhan sehingga kebutuhan satu pihak hanya dapat terpenuhi bersama-sama dengan dan melalui terpenuhinya kebutuhan pihak lain.



C. Konflik Yang Terjadi Di Kelas
Mnurut kamus Webster’s “conflict” berasal dari kata Latin “conflictus” yang artinya memukul bersama (to strike together). Sinonim katanya adalah perang, ketidaksetujuan, bentrokan. Sebagai kata kerja, konflik menunjukkan arti antagonistic atau mengandung sesuatu pertentangan .
Konflik merupakan kejadian wajar yang biasa terjadi dan merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan pasti terjadi didalam hubungan antar manusia, dengan jenis dan bobot yang berbeda-beda. Hubungan antara guru dan siswa adalah hubungan manusia dengan manusia juga, sehingga wajar saja jika antara keduanya terjadi konflik didalamnya.
Didalam model hubungan manusia, konflik menunjukkan adanya bentrokan yang terjadi diantara dua orang (atau lebih) :
1. Apabila prilaku-prilaku mereka merancu pada kepentingan atau keperluan pada pihak yang berlawanan.
2. Apabila nilai-nilai mereka tidak cocok.
Sebagai penyebab timbulnya konflik di dalam kelas menurut Gordon adalah benturan antara kepentingan guru dengan kepentingan siswa(“konflick-needs” situation), yaitu :
1. Adanya kepentingan yang memotivasi perilaku yang dapat diterima dari siswa yang cukup kuat sehingga susah sekali untuk dimodifikasi atau diubah.
2. Hubungan dengan guru begitu kurang baiknya sehingga siswa tidak dapat menghindari keengganannya untuk memenuhi kepentingan guru.
Kemudian ada pertanyaan, bagaimana guru mengatasi konflik? Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa guru dan siswa keduanya pernah menempatkan dirinya diatas, tetapi juga pernah dibawah. Apabila timbul konflik, seperti selalu mereka lakukan. Kebanyakan guru mencoba memecahkan permasalahan terebut. Dengan demikian maka mereka menang, atau sekurang-kurangnya tidak kalah. Dalam keadaan demikian jelaslah bahwa pihak siswa memandang kalah, atau sekurang-kurangnya tidak menang. Dalam kesempatan lain barangkali guru dengan rela member “angin” kepada siswa untuk memenuhi keinginannya. Sikap “baik hati” atau “permissive” ini mendasarkan diri pada pandangan :
“membuat frustasi dorongan alami yang ada pada anak akan berakibat tidak baik bagi mereka”
Pendapat penting yg dikemukakan oleh Thomas Gordon adalah adanya dua pendekatan “menang-kalah” yang disebut dengan metode I dan Metode II. Didalam metode I, guru kalah dan siswa menang. Dari metode I dan II ini dapat disimpulkan bahwa “hubungan antara guru dengan siswa akan baik apabila guru dan siswa yang terlibat dalam hubungan tersebut masing-masing pernah mengalami menang” .
Kemudian ada pertanyaan lagi, siapakah sebenarnya yang mempunyai masalah, guru ataukah siswa? Sebuah kasus yang dapat dijadikan contoh dalam pembicaraan ini adalah sebagai berikut. Seorang gadis tiba-tiba teriak (secara tidak sengaja) karena kejatuhan seekor cicak dari langit-langit. Tentu saja terjadi keributan dikelas, padahal pada waktu itu guru sedang asyik menerangkan suatu topic yang menarik, tetapi toh masih kalah menarik dibandingkan dengan teriakan siswa yang kejatuhan ekor cicak tersebut. Kembali pada pertanyaan tersebut. Siapakan yang mempunyai masalah, guru ataukah siswa? Pertama kali siswalah yang mempunyai masalah karena dia terkejut (dan takut) kejatuhan ekor cicak. Amdaikata saja dia tidak beraksi, diam saja, maka mungkin pelajaran akan terus berlangsung. Jadi yang mempunyai masalah hanyalah siswa yang bersangkutan. Peristiwa menjadi berubah ketika dia berteriak histeris. Oleh karena pelajaran di kelas menjadi kacau maka seketika itu guru mendadak mempunyai masalah. Guru harus segera memecahkan masalahnya. Jika dia tidak berhasil mengatasi masalah tersebut maka suasana kelas tidak akan normal dan pelajaran tidak akan dapat berlangsung kembali.
Dalam upaya untuk mengatasi masalahnya, guru sebenarnya juga sekaligus mengatasi masalah yang ada pada siswa agar suasana kelas menjadi normal. Tentunya si ekor cicak tidak hinggap lagi di tubuh gadis sehingga dipandang dari keadaan fisik masalahnya sudah hilang. Batinnya masih tercekam oleh rasa takut (dan mungkin ada rasa menyesal dan malu kepada teman-temannya). Dalam kesempatan tersebut guru harus melihat situasi. Ada dua hal yang harus dilakukan, pertama menenangkan kelas dan kedua menenteramkan hati gadis tersebut .
Masalah yang semula milik siswa berubah menjadi milik guru. Disini nampak bahwa didalam kelas, guru memang memegang peranan penting untuk melenyapkan masalah dari lingkungan kelas agar suasana menjadi normal. Pelajaran tidak mungkin dapat berlangsung dengan baik apabila suasana kelas tidak normal.
Masalah merupakan sesuatu yang dengan mudah menghinggapi tubuh siapapun. Penyebab maslaah dapat berasal dari faktor fisik seperti : pusing, pegal, lelah, semutan, gatal, dingin, gerah, mengntuk dan lain-lain. Penyebab yang berupa faktor psikis antar lain : rasa bosan, susah, gembira, benci, tertekan, bingung, risau, cemas, malu, gugup dan sebagainya . Setiap siswa memiliki masalah yang nampak dan tidak nampak dan itu sangat menggaggu jalannya pelajaran. Dan guru, juga tidak terlepas dari masalah, baik dari fisik atau psikis. Tapi karena dia mempunyai tanggungjawab dalam proses belajar mengajar maka guru tersebut harus bisa menekan bergejolaknya masalah sehingga tidak mengganggu pengajarannya.
D. Bagaimana Guru Mengatasi Masalah Siswa
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang pasti mengadakan hubungan atau interaksi dengan orang lain. Interaksi tersebut dapat berupa interaksi yang berlansung dalam bidang social ekonomi, poplitik, pendidikan dan sebagainya. Salah satu dari interaksi tersebut berupa interaksi edukatif yang berarti interaksi yang berlangsung dalam ikatan Tujuan pendidikan .
Guru merupakan wakil orang tua siswa disekolah oleh Karenanya guru yang berstatus sebagai orang tua wajib mengusahakan agar hubungan atau interaksi antar mereka dengan siswa dapat serasi, seperti yang terjadi di dalam rumah tangga. Akan tetapi banyak guru tidak sadar mengetahuinya ketika bagaimana harus bertindak apabila ada siswanya datang kesekolahannya membawa masalah atau membawa perasaan kusut.
Beberapa orang guru bersikap “tidak mau tahu” dengan urusan siswa. mereka ini merasa bahwa mereka bukan pembimbing sehingga tidak dapat melakukannya, atau bahkan menyatakan bahwa problema yang ada pada siswa bukan menjadi tanggung jawabnya, tetapi pembimbing. Atau mereka akan berpendapat bahwa problema yang ada pada siswa harus disisihkan dari kehidupan sekolah. Karena tugasnya hanya mencerdaskan siswa. Tidak sedikit guru yang berpendapat seperti itu bahwa siswanya seperti majikan berpikir tentang pekerja pabriknya, yaitu bahwa apabila mereka mempunyai masalah, hendaknya ditinggalkan saja dirumah dengan demikian berpikir seperti itu maka mereka bersikap tidak peduli terhadap masalah yang dimiliki siswanya .
Sikap ini tidak pantas lagi diberi tugas sebagai pendidik propesional karena masalah siswa secara serius akan mempengaruhi proses belajar yang mereka alami di sekolah karena disekolah produksi siswa dipengaruhi oleh kerja otak yang erat kaitanya dengan perasaan yang bermasalah berbeda dengan pabrik produksi dipengaruhi oleh kerja mesin pabrik oleh karena itu dalam keadaan emosi yang terganggu seperti ini maka upaya dari guru betapapun kerasnya akan tidak banyak manfaatnya bagi muridnya. padahal selama proses mengajar-belajar berlangsung. terjadilah interaksi antara guru dan siswa.
Kenapa guru tidak berhasil membantu siswa? Pertama : pengenalan dan pemahaman guru terhadap masalah sisa kurang mendalam dan kesedua guru kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memecahkan masalahnya.
Thomas Gordon mengemukakan bahwa kunci paling penting untuk menjalin hubungan pengajaran antar guru dengan siswa adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Gordon menunjukan bahwa campur tangan guru terhadap pemecahan masalah yang dialami siswa akan lebih berharga dibandingkan dengan cara-cara canggih apapun yang dilakukan oleh bukan mausia. Didalam kegiatan Teacher Effective Training (T.E.T) yang terkenal dan ditangani oleh Gordon, telah diidentifikasikan berbagai kejadian yang dijumpai oleh guru didalam kehidupan sekolah. sayang hanya sedikit saja guru yang berhasil menyelesaikan kasus siswa dengan baik disebabkan karena pengetahuan dan keterampilan bimbimgan mereka yang kurang memadai.
Adapun menurutnya untuk mengatasi perilaku sisa yang tidak diterima oleh guru dapat dikelompokan menjadi dua belas kategori :
1. Meminta, Menyuruh, Mengarahkan. Misalnya : jangan mengeluh saja! Mulailah bekerja seperti teman lain!
2. Mengingatkan , Mengancam. Misalnya : sebaiknya anda membuat dengan cara lain jika anda ingin mendapat nilai baik
3. Memberikan Khotbah, Menasehati, Menyarankan. Misalnya :“ anda seyogyanya melupakan masalah anda. tinggalkan masalah anda dirumah karena disekolah ini tugas anda mencari ilmu
4. Memberi Nasehat, Menawarkan atau Menyarankan Alternative. Misalnya :“cara yang baik untuk anda adalah menyelesaikan soal-soal bagian pertama dulu, baru kemudian berpindah kebagian dua”
5. Mengajar memberi kuliah, memberikan argumentasi logis. Misalnya :“ mari coba kita lihat sisa waktu yang ada. Waktu yang tersedia untuk belajar bagi anda tinggal dua bulan lagi. Seyogyanya anda menyusun jadwal dengan cermat agar tidak ada waktu anda yang tidak terpakai.
6. Mempertimbangkan, Mengkritik, Tidak Menyetujui, Menyalahkan. Misalnya : kamu memang malas, terlalu menganggap ringan masalah ini”
7. Memberi Label, Mengatai-Ngatai Mengklisekan. Misalnya :” kamu bergaya seperti anak kelas VI saja
8. Menginterpretasikan, Menganalisa, Mendiagnosis. Misalnya :“ kamu agaknya berusaha menghindari tugas ini “
9. Memuji, Menyetujui Memberikan Penilaian Positif. Misalnya “ anda sebenarnya mempuyai bakat. Saya yakin anda pasti dapat melakukannya, asal anda berusaaha dengan serius.
10. Menyakinkan, Manruh Simpati, Memberikan Dukungan. Misalnya :“bukan hanya anda sendiri yang mendapat cobaan seperti ini saya pun akan merasa demikian kalau mendapat cobaan yang sama.
11. Mengajukan Pertayaan, Memberikan Pancingan, Mencoba Menelusuri, Menguji Kembali. Misalnya :” benarkah bahwa anda menganggap soal ini sukar?” ,”berapa lamakah anda menyelesaikan tugas ini?”, “ Menggpaa anda masih juga bertahan menunggu dia ?”
12. Menarik Diri, Mengalihkan Perhatian, Mengasyikan , Memberikan Humor. Misalnya :”mari kita membahas bagian yang menarik ini saja !” nah , sekarang sudah tiba waktunya kita kembali ke masalah kita semula !” rasanya saya melihat sesuatu yang agak kurang beres ya. Mari coba kita lihat bersama dimana letak kesalahan kita.
Pengajaran yang berkualitas adalah pengajaran yang menghasilkan dampak positif yakni terkuasainya pengetahuan. Menurut teori Gilbert dan Levinson menyebutkan bahwa hubungan antara guru dengan siswa dibedakan 2 tipe :
1. Bentuk hubungan kastodial (menjaga)
Pendekatan ini siswa dipandang selalu dalam keadaan tidak disiplin dan tidak bertanggung jawab. Dengan demikian tugas guru adalah mengamati atau mengontrol sisw dan siap dengan sanksi-sanksi serta hukuman
2. Bentuk humanistic (secara manusiawi )
Dimana siswa belajar melalui interaksi dan pengalaman. Dengan demikian siswa terlibat dalam kegiatan head to head antar staff pengajar di dalam kelas demi membantu siswa membentuk dan mengembangkan disiplin pribadi bukan mendisiplinkan mereka.
Kesimpulan
Di dalam proses pembelajaran siswa mempunyai peran yang sangat penting. Apa yang dilakkan oleh guru semata-mata adalah pengabdian kepada tugasnya yaitu membantu siswa sebagai subjek didik. Sebagai individu monodualis siswa memiliki aspek-aspek psikologis yang harus dipertimbangkan karena sangat menunjang keberhasilan mengajar. Aspek-aspek yang dimaksud antara lain : motivasi, konsep diri, kreatifitas, keingintahuan, kecemasan dan keterasingan.
Motivasi merupakan dorongan yang ada pada diri anak untuk melakukan sesuatu tindakan. Besar kecilnya motivasi banyak dipengaruhi oleh kebutuhan individu yang ingin dipenuhi. Aspek kedua yang juga memegang peranan penting adalah konsep diri, yakni penilaian seeorang tentang dirinya. Konsep diri ini akan sangat berpengaruh juga pada keberhasilan belajar. Konsep diri yang sejalan dengan keterasingan tumbuh dan berkembangnya konsep diri angat ditentukan oleh latar belakang keluarga, ekonomi, penampilan dan hal-hal lain yang bersifat negative.
Kreatifitas dan keingintahuan merupakan dua aspek yang juga harus dikembangkan oleh guru karena berhubungan erat dan sangat mendukung keberhasilan belajar siswa. Dan kecemasan merupakan aspek negative yang perlu ditekan atau dihindari.Untuk menangani aspek-aspek yang telah disebutkan, guru dapat minta bantuan ahli-ahli psikologi untuk mengadakan pengukuran, agar selanjutnya guru dapat menangani dan memperlakukan siswa seperti apa adanya. Guru baru akan dapat membantu siswa mencapai tujuan belajar secara maksimal apabila aspek-aspek positif yang perlu berkembang sudah dikembangkan, sebaliknya aspek nengatif yang perlu ditekan sudah diminimalkan.


Referensi
Ahmadi, Abu.” SBM, Strategi Belajar Mengajar Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK”. Cet 2 (Bandung: Cv Pustaka Setia. 2005)
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi. Cetakan Pertama
Hasibuan J.J.Proses Belajar Mengajar .Cetakan pertama
S. Nasution..”Didaktik Asas-Asas Mengajar”. Cet.5.(Bandung: Pt Jemmars. 1986).
Slameto.” Belajar Dan Factor-Faktor Yang Mempengaruhinya”. Cet 4 (Jakarta: PT Asdi Mahasatya. 2003).
W.S Winkel.” Psikologi Pengajaran.” Cet 4 (Jakarta: Pt Gramedia. 1991)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda disini....